Senin, 17 Juni 2013

Jangan Terlalu Cepat Menyimpulkan

Mendengar lantunan melodi sumbang. Memekikkan telinga. Membakarkan emosi.
Segala hal itu mempunyai makna, nona. Resah diri terlalu cepat menyimpulkan. Memeluk diri menghindari kenyataan.
Sebuah keberuntungan kita dapat bersua. Menghabiskan waktu bersama, ceritakan tentang melodi sumbang menyedihkan tersebut.
"Melodi ini menceritakan tentang cinta seseorang, nona. Seseorang yang terlalu mencintai namun tak bisa memiliki. "
Lucu sekali pada akhirnya, kau menyukai nyanyian itu hanya karena maknanya atau orang yang mengatakan maknanya?
Kau begitu keras. Membuat orang benci akan kebodohanmu untuk bersikap kasar diluar — yang sebenarnya tidak.
Kemudian, engkau berlalu meninggalkan jejak. Meninggalkan asa untuk bersama. Merebahkan diri ke altar rembulan.
Lantunan melodi itu kembali — mengiringi langkahmu mengejar asa, disertai doa-doa tentunya.
Melodi dengan ekspresi Con Antabile itu terus terngiang di dada. Seakan semakin mendukung jerih payahmu.
Cinta itu membuatmu gila, nona. Kamu yang risau karena omongan tentang dia, oleh manusia yang tidak mumayiz.
Di penghujung keberhasilanmu. Pada akhirnya engkau tak bisa ke nirwana bersamanya — Ia telah bersama orang lain.
Dan ketika fajar tiba. Ketika Melodi itu masih terdengar. Engkau masih disana. Menunggu dia.

" Biarkanlah rasa ini hilang, seiring melodi ini berlalu, namun aku akan selalu merapalkan doa doa untukmu. "















Setia Itu Perjuangan, chéri



Kita, sama-sama pernah menyimpan asa.
Mempertemukan sisi rahasia masing-masing.
Bertukar cerita sambil menyeduh minuman hangat.
Mengikat janji untuk setia. Mengikat janji untuk bersama.
Kemudian saling pergi mengembara, pergi jauh masih dengan asa untuk bersama.
Kemudian aku mengenalnya, seorang wanita yang sangat lembut, sederhana, dan mengagumkan.
Berawal dari pertemuan kami seperti ftv-ftv standar — hingga akhirnya, sekarang saling menyandarkan diri duduk masing masing saling berhadapan.
Menikmati makan malam di Drouant Café.
Bercengkrama hati tanda saling ingin memiliki.
Kita sadar saling mencintai, apadaya hati masih memiliki janji.
Malam itu, sunyi menusuk kalbu diiringi melodi lagu-lagu minor.
Aku sadar kamu mencintaiku, begitupun sebaliknya.
Namun, janji adalah hal yang suci, chéri. Melanggarnya bukanlah pilihan.
Andai saja, engkau datang duluan sebelum dia.
Andai saja, engkau lebih dulu mampir mengetuk pintu hati ini.
Andai saja, andai saja...
Percuma, kalimat itu bagaikan daun kecil yang sudah lepas dari batangnya.
Rapuh — mudah dilupakan.
Semoga, dengan berlalunya daun kecil itu,
dengan berlalunya memori-memori hangat tentang kita,
hubungan kita, berakhir disini.
Maafkan aku yang lebih memilih setia, chéri.